REKLAMASI PANTAI UTARA JAKARTA
Selayaknya pembangunan di kota-kota maju di dunia, proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta
juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Pihak yang setuju dan
yang tidak setuju memiliki data dan pembelaan masing-masing.
Kubu
pro terdiri atas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
dan para pendukung setianya. Sedangkan kubu kontra terdiri dari para
aktivis lingkungan, nelayan, Bu Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan
dan Perikanan, sejarawan, budayawan, pakar tata kota, pengamat, dan
orang-orang yang selama ini berseberangan dengan Ahok.
Kubu pro
beranggapan bahwa Jakarta butuh reklamasi karena berbagai alasan
mendesak, antara lain Jakarta harus membangun tanggul raksasa (Giant Sea Wall)
untuk mencegah banjir, laut Jakarta sudah terlalu kotor, dan
pembangunan hunian-hunian mewah harus tetap dilakukan untuk meningkatkan
perekonomian kota.
Bagaimana dengan kubu kontra? Mereka
beranggapan bahwa proyek reklamasi hanya menguntungkan pengembang
properti dan kaum borjuis saja, sementara para nelayan semakin sengsara
dan hanya diberi janji-janji manis. Mereka menilai proyek reklamasi
tidak akan menyelamatkan Jakarta dari banjir sebab masalah penyebab
utama banjir tidak diselesaikan, yaitu mengurangi penggunaan air tanah
dalam yang menyebabkan penurunan tanah (land subsidence). Selain itu, proyek reklamasi akan merusak habitat asli tanaman bakau dan hewan-hewan langka yang ada di Jakarta Utara.
Dua
pendapat di atas sama-sama memiliki dasar yang kuat, informasi tersebut
bisa kita peroleh dari jurnal-jurnal ilmiah dan hasil penelitian
berpuluh tahun yang lalu. Pendapat pertama mencontoh kesuksesan Belanda
mereklamasi Rotterdam untuk menahan banjir serta proyek-proyek reklamasi
lainnya di belahan dunia lain. Pendapat ini diperkuat dengan kunjungan
kerja serta penandatanganan kerja sama bisnis Ahok dengan walikota
Rotterdam.
Sementara pendapat kedua diakui oleh beberapa pakar
dengan latar belakang pendidikan dan profesi terkait. Mereka lantang
bersuara bahwa Indonesia, termasuk Jakarta dengan Kepulauan Seribu-nya,
adalah negara kepulauan bukan negara-negara seperti yang dianalogikan
oleh kubu pro reklamasi. Indonesia memiliki ciri khas alam dan budaya
tersendiri yang tak bisa semena-mena digantikan dengan wajah glamor dan
megah hasil impor dari negara lain.
Beberapa aktivis lingkungan,
seperti Mbak Melanie Subono dengan tagar #JKTenggelem-nya, dan para
nelayan mempertanyakan urgensi serta kejelasan hukum proyek tersebut.
Sebab, masyarakat Jakarta tidak pernah dilibatkan dalam proyek reklamasi
dan hanya menerima jadinya saja tanpa tahu bagaimana Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) dibuat dan disahkan. Masuk akal apabila
Jakarta membutuhkan tanggul raksasa, tapi mereka mempertanyakan proyek
reklamasi belasan pulau yang konon tidak ada kaitannya dengan
kepentingan masyarakat.
Di media sosial, amat mudah menemukan
perdebatan kubu pro dan kotra reklamasi. Sebagian dihiasi dengan
jargon-jargon yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri, seperti “Jika
tak direklamasi, Jakarta akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan”
atau “Lebih baik menyingkirkan segelintir manusia, hewan, dan tanaman
langka demi kebaikan jutaan warga Jakarta”.
Alih-alih
memperilhatkan rasa cinta terhadap kota kelahiran dan kota tempat hidup,
kedua kubu malah terjebak dalam drama perdebatan tak berujung khas
Pemilu Presiden tahun 2014. Tentu lebih elok apabila mereka mau saling
duduk santai sambil ngopi, bertukar pendapat satu sama lain, hingga
tercapai mufakat antara kedua belah pihak.
Setelah
mencerna perdebatan antara kedua kubu, saya semakin mantap berpendapat
bahwa Jakarta memang butuh reklamasi karena beberapa alasan sebagai
berikut.
1. Jakarta adalah Kota Maju
Impian pasangan
Jokowi-Ahok saat kampanye dan terpilih sebagai pemimpin DKI pada tahun
2012 adalah mewujudkan Jakarta Baru. Jakarta yang bersih, rapi, modern,
nyaman, aman, dan tentunya bebas dari praktik korupsi, kolusi, maupun
nepotisme.
Jokowi maupun Ahok mempertimbangkan untuk melanjutkan
atau tidak memperpanjang beberapa program wrisan pemimpin sebelumnya.
Normalisasi sungai dan waduk, perombakan pelayanan dan transportasi
publik, serta reklamasi Pantai Utara merupakan program-program yang
harus dilanjutkan untuk kepentingan warga Jakarta.
Jakarta butuh
itu semua, butuh identitas untuk diakui sebagai salah satu kota maju di
dunia. Cerita lama Jakarta kumuh, penuh pohon bambu dan kelor, dan
ketinggalan zaman tidak perlu diulang kembali. Jakarta tak hanya akan
selevel dengan Rotterdam atau Singapura, kota yang berusia 488 tahun itu
akan bersaing dengan Manhattan, Dubai, Tokyo, Hong Kong, atau bahkan
Atlantis.
2. Banjir di Jakarta Dapat Ditanggulangi dengan Reklamasi
Berdasarkan
hasil penelitian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), penurunan
muka tanah di Jakarta mencapai 18 sentimeter per tahun. Hal ini akibat
ekstraksi atau pencurian air tanah oleh pengelola gedung-gedung
bertingkat maupun perumahan.
Hal ini tak luput dari pengamatan
para pemimpin DKI, termasuk Ahok. Ahok setuju untuk memperpanjang
perizinan reklamasi dari Gubernur terdahulu, yakni Fauzi Bowo. Jangan
tanya mengapa Ahok tidak menghukum tegas pelaku praktik ekstraksi air
tanah dan malah membangun pulau baru serta tanggul raksasa di Pantai
Utara Jakarta. Saya sendiri bingung menjawabnya.
3. Pantai Utara Jakarta Sangat Kotor
Siapa
yang pernah berkunjung ke Taman Impian Jaya Ancol atau Pelabuhan
Tanjung Priok, pasti setidaknya pernah melihat kesegaran dan wewangian
semerbak khas Pantai Utara Jakarta. Tiada yang menandingi kejernihan air
dan deburan ombak nan syahdu di pantai tersebut. Konon, keindahannya
mengalahkan Pantai Gili Trawangan di Lombok dan pantai-pantai yang ada
di Pulau Bunaken.
Ahok perlu didukung sebab ia berpendapat tempat
yang banyak sampah, lumut, dan terkontaminasi harus direklamasi. Setelah
direklamasi, tak ada satu pun pantai di dunia yang sanggup menyaingi
keindahan Pantai Utara Jakarta dengan air tawarnya yang dapat diciduk
dan dinikmati langsung oleh siapa pun. Ini merupakan ide brilian untuk
mewujudkan Jakarta Baru.
4. Jakarta Butuh Pendapatan Pajak Lebih Banyak
Menurut
Vice President Director and Chief Operating Officer Jakarta PT.
Intiland Development Tbk, Suhendro Prabowo, yang diwawancarai
Kompas.com, harga kavling kanal yang ada di atas tanah reklamasi sekitar
Rp 30 juta per meter persegi. Hampir dua kali lipat dibanding yang ada
di darat dengan harga sektiar 15 juta hingga 20 juta per meter persegi.
Inilah
celah yang dilihat oleh Ahok untuk meningkatkan pendapatan daerah. Bisa
dibayangkan betapa fantastis uang bagi hasil kepemilikan dan pajak yang
masuk ke kantong kas daerah. Peduli setan dengan penyerapan anggaran
yang minim, toh ini demi kemaslahatan warga ibu kota tujuh turunan.
5. Pengembang Properti, Pembeli, dan Turis Harus Dimanjakan
Alasan
paling masuk akal pengerjaan proyek reklamasi adalah memprioritaskan
orang-orang kaya. Mereka harus dibuatkan pulau sendiri, lengkap dengan
apartemen, hotel, pusat perbelanjaan, perkantoran, ruko, dan lapangan
golf. Jika tidak dimanjakan, bukan tidak mungkin mereka akan menabur
uang di daerah lain.
Jakarta bukan tempat buat si miskin, yang
biasa tinggal di atas tanah negara dan tidak taat membayar pajak.
Jangankan membayar pajak, makan sehari-hari saja sulit.
6. Profesi Nelayan Harus Dilenyapkan
Apa
yang ada di benak Anda ketika membayangkan nelayan di Jakarta Utara?
Apakah yang Anda bayangkan adalah pria-pria gemuk berpakaian rapi,
melaut dengan kapal dan peralatan modern, dan hasil tangkapan mereka
berupa ikan-ikan berukuran jumbo?
Sayangnya, tampilan mereka tidak
sekeren yang Anda bayangkan selama ini. Mayoritas nelayan tidak
mengindahkan penampilan mereka, bahkan cenderung kotor dan lusuh. Hasil
tangkapan mereka pun tidak semewah sebagaimana yang ada di acara
televisi, beberapa di antaranya ikan teri galer, belanak, kembung, dan
kerang hijau yang konon terkontaminasi logam dan limbah berbahaya
lainnya.
Nelayan harus dibuat susah melaut dan menangkap ikan,
kalau perlu buatkan jalur melaut yang cukup jauh supaya mereka kehabisan
waktu dan bahan bakar. Pelan-pelan mereka akan sadar bahwa mereka
merugi karena sulit menangkap ikan, apalagi menjualnya di pasar. Jika
sudah tidak betah, mereka akan berpindah tempat dan beralih profesi.
Jadi agen properti misalnya.
Warga Jakarta akan merasakan manfaat
proyek reklamasi dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang. Tidak ada
kepastian sukses maupun gagal sebelum proyek benar-benar rampung.
Apabila berhasil, Jakarta akan bebas dari banjir. Apabila gagal, warga
Jakarta akan dipindahkan ke pulau-pulau buatan hasil reklamasi supaya
tidak ikut tenggelam, tentunya dengan membayar uang sewa.
Nah,
jika Anda masih menolak reklamasi Pantai Utara Jakarta, mohon
pertimbangkan lagi. Reklamasi ini akan membawa banyak perubahan untuk
kota Jakarta, membawa angin segar bagi pengembang dan kolektor properti,
menampik eksistensi warga kelas bawah, serta mengesampingkan kerusakan
lingkungan.
sumber: https://www.selasar.com/politik/6-alasan-mengapa-anda-harus-dukung-reklamasi-pantai-utara-jakarta
Komentar
Posting Komentar