STRATEGI MENGATASI ANCAMAN TERORISME PASIF
Sabtu pagi (25/7) salah satu artikel penulis di tayangkan pada rubrik
Opini Koran Seputar Indonesia (Sindo) dengan judul Mengatasi Ancaman
Terorisme. Karena “home base” Old soldier ini disini, maka disusun
artikel ini bagi pembaca Kompasiana. Penulis mengupas sebuah diskusi
pada saat bertugas di Departemen Pertahanan dengan Menhan Matori Abdul
Djalil (Alm). Dimana setelah terjadinya bom Bali-I, Menhan mengeluarkan
pernyataan mengejutkan, bahwa pelakunya adalah Jamaah Islamiyah yang
didukung oleh Al Qaeda. Pernyataan tersebut sangat besar artinya,
mengingat demikian besarnya tekanan dari banyak negara setelah jatuhnya
banyak korban WN asing pada serangan tersebut. Pernyataan beliau yang
juga salah satu tokoh Islam di Indonesia telah menyelamatkan nama
Indonesia dengan penduduk yang mayoritas muslim dari tuduhan
internasional sebagai negara yang berbau terorisme. Itulah keberanian
seorang tokoh Islam pada saat demikian tidak kondusifnya situasi
pertentangan didunia internasional serta didalam negeri dalam
mengidentifikasikan masalah terorisme.
Terorisme adalah sebuah fenomena
yang sulit untuk dimengerti. Aksinya sangat mematikan dan tertutup,
membawa banyak korban jiwa, termasuk orang yang tidak bersalah. Dari
beberapa insiden, diketahui bahwa seseorang tanpa dasar pendidikan yang
cukup dapat melakukan aksi yang spektakuler. Terorisme, ini adalah
sebuah mashab atau aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak, guna
menyuarakan pesannya. Melakukan tindakan ilegal yang menjurus kearah
kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Istilah lain yang juga sering
disebut adalah teroris. Teroris, ini adalah pelaku atau pelaksana
bentuk-bentuk terorisme, yang dilakukan baik oleh perorangan ataupun
kelompok dengan cara kekerasan sampai pembunuhan. Yang dimulai dengan
sistem konvensional hingga modern. Karena itu, secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa efek teroris memiliki dimensi luas, dan umumnya secara
langsung memberikan tekanan kepada pemerintah. Sementara Teror difahami
sebagai tindakan untuk menciptakan dan memaksakan kehendak dengan jalan
kekerasan, tujuannya untuk menimbulkan rasa takut. Perbedaan pandangan
terhadap apa, siapa, kenapa, dan bagaimana tentang terorisme adalah
wajar, sejauh ini disikapi secara arif dan bijak.Yang
perlu diingat, teror itu merupakan kegiatan intelijen yang dimainkan
oleh “dalang” yang tidak atau memang belum pernah terungkap hingga saat
ini.
Adjie S,Msc dalam bukunya Terorisme menyebutkan, pada beberapa
kasus, beberapa kelompok melakukan “undeclared warfare” kepada suatu
negara secara tersembunyi. Dimana kawasan yang memiliki pengalaman
konflik secara luas seperti Lebanon, Afghanistan dan El Savador terbukti
secara efektif menggunakan taktik teror, bahkan dilakukan oleh dua
kelompok yang saling berhadapan. Kini, teroris memiliki kemampuan yang
luar biasa, mampu membentuk kader, dalam sekejab mempersiapkan diri atau
kelompoknya menjadi mesin pembunuh yang potensial. Dapat menghancurkan
gedung, sekaligus membunuh, menimbulkan rasa takut dan tidak aman.
Bagaimana dengan teroris di Indonesia? Noordin M Top, adalah seorang tokoh teroris yang paling dicari oleh aparat keamanan hingga kini. Sesuai dengan aturan yang berlaku pada kelompok teroris, si pemimpin harus memiliki dedikasi tinggi untuk organisasi, pengikut, serta kelompoknya. Ini dimiliki oleh Noordin. Bisa dibayangkan kehebatannya, bahkan mantan Dan Densus 88 Brigjen Pol (Purn) Suryadarma Salim menyebutnya Noordin bukan tokoh teror taman kanak-kanak. Sebagai WN Malaysia dia beroperasi di Indonesia. Sudah sekian lama selalu mampu menghindar belum juga dapat ditangkap, bahkan mampu melakukan serangan bom. Kelompok teroris ini, menghendaki masyarakat luas menyediakan dukungan sehari- hari, seperti pengumpulan data untuk kepentingan intelijen dan sumber dana. Tingkat dan susunan sebuah kelompok teroris terdiri dari pimpinan atau ketua, kader aktif, pendukung aktif, pendukung pasif, dan simpatisan di tengah masyarakat.
Dari beberapa hasil pemeriksaan dan pengadilan, menunjukkan, biasanya mereka bersembunyi dengan menyewa atau membeli rumah. Bersosialisasi dengan masyarakat umum dan berjualan, dalam rangka menyamarkan kegiatan. Di rumah itu mereka melakukan penimbunan senjata, bahan peledak, dan perakitan bom. Anggota jaringan taktis, adalah mereka yang melakukan peledakan bom, melakukan pembunuhan, penculikan, pembakaran. Semua anggota memiliki dedikasi tinggi kepada kelompoknya. Bahkan beberapa anggota lebih memilih melakukan aksi bunuh diri sekalipun, aksi yang dipahami seluruh anggota, tergantung perintah pimpinan. Jaringan taktis akan bergerak bila pimpinan sudah memutuskan tujuan jangka pendek. Itulah yang dilakukan para teroris. Amerika Serikat kini lebih terlihat melokalisir peperangannya dengan Al Qaeda di Afghanistan. Presiden Barrack Obama nampaknya telah berhasil melakukan pendekatan dengan negara-negara Islam, agar mata rantai dukungan terhadap teroris dapat diputuskan. Fareed Zakaria mengatakan bahwa AS dalam menghadapi Al-Qaeda sangat memahami, mereka menghadapi sebuah perang yang sangat panjang dengan banyak terjadi pertempuran besar dan kecil.
Dalam mengatasi ancaman terorisme, harus dimulai dengan dasar pemikiran dan strategi yang tepat. Karena teroris umumnya menggunakan dasar ilmu intelijen, maka “counter terrorism” di susun dengan pola operasi intelijen.
Pertama, penerapan strategi militer, di sektor militer dilakukan operasi bawah tanah, dengan tekanan yang bertujuan menghancurkan kelompok teroris. Setiap orang yang merencanakan dan membantu operasi teroris harus mengerti bahwa dia akan diburu dan dihukum. Operasi mereka akan diganggu, keuangan akan dikeringkan, tempat persembunyian akan terus diserbu. Jika ini berhasil, tidak ada lagi yang jadi masalah di sektor militer. Operasi akan lebih efektif apabila tim merupakan gabungan antara Densus 88/Antiteror dari kepolisian dan satuan-satuan antiteror TNI. Hambatan ketentuan UU dan SOP sebaiknya diatasi dengan pemikiran jangka panjang, karena ancaman teror jelas mengganggu pembangunan dan kredibilitas kondisi keamanan Indonesia dimata negara lain. Semua yang ditata oleh pemerintah akan bisa runtuh dalam sekejap mata dengan sebuah serangan teror. Inilah nilai terpenting yang harus kita sadari bersama.
Kedua, yaitu Strategi politik yang jelas lebih rumit lagi. Sistem politik harus ditata ulang dalam kaitannya dengan bahaya teror. Pelibatan elite politik agar satu suara dalam penanganan masalah teroris sangat dibutuhkan, tidak seperti masa lalu. Dalam hal Bom Bali-I, masih terjadi perbedaan pendapat di antara elite politik. Tokoh-tokoh parpol Islam sangat penting dilibatkan dalam penanganan kasus, agar tidak terjadi tekanan politis bagi pemberantasan teror, bukan ditujukan kepada umat Islam tetapi kepada kelompok radikal teror. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah konsensus nasional yang luas. Aliansi politik menjadi masalah penting bagi keamanan nasional kita. Persaingan sudah berlalu dan selesai, kini waktunya bersatu padu menyelamatkan negara.
Ketiga, strategi budaya. Pemerintah bersama tokoh-tokoh agama wajib membantu dan menyadarkan generasi muda Islam di tempat-tempat pendidikan agama. Dari beberapa kasus, mereka ini yang dibina dan dijadikan kader. Beberapa anggota kelompok bersedia dan sadar untuk mati lebih disebabkan karena mampu diyakinkan bahwa “surga” akan didapatnya, dan mereka sudah berada dijalan yang benar. Menjadi tugas kita bersama untuk kembali menyadarkan pemuda-pemuda yang demikian bersemangat, agar kembali memahami pengertian baik dan buruk, pengertian haram dan halal serta pengertian jihad dan mati syahid. Di sisi inilah pemuda itu banyak digelincirkan. Umumnya serangan teror hanya ramai dibicarakan saat kejadian, dan biasanya setelah beberapa lama akan dilupakan.
Perang dengan terorisme adalah perang yang sangat serius, kalau dahulu hanya alumnus Ngruki yang dibina, kini nampaknya pengkaderan sudah merambah keorganisasi lain. Yang lebih berbahaya, beberapa yang dikader adalah mereka yang tidak berafiliasi keorganisasi manapun. Strategi budaya harus terus dilakukan pemerintah, kita tidak rela rasanya apabila para pemuda Islam kita yang bersemangat dimanfaatkan dan dilibatkan dalam perang mereka. Aparat telah mengejar sang Noordin selama lebih dari tujuh tahun, tetapi dia masih bebas berkeliaran dan bahkan mampu melakukan pemboman. Teroris masih bisa hidup karena mereka bercampur dengan rakyat. Oleh karena itu mereka harus dipisahkan dengan rakyat itu. Walau bagaimanapun, dengan jenis senjata termodern sekalipun, dengan strategi yang andal atau taktik yang jitu, sulit untuk memenangkan peperangan menghadapi terorisme tanpa dukungan aktif dan partisipasi dari masyarakat. Teroris tidak akan pernah dapat dikalahkan hanya dengan menggunakan kekuatan fisik saja. Karena itu memainkan kartu lama digabung dengan kartu baru nampaknya akan lebih bisa diharapkan.
Solusi pelengkap dari ketiga strategi itu sederhana saja, aktifkan dan berdayakan Babinsa dan Babin Kamtibmas bersama-sama secara utuh, tidak sebagai pesaing. Babinsa adalah jaringan teritorial yang telah puluhan tahun berpengalaman bergaul dan berperan di masyarakat. Tanpa semuanya itu, maka kita harus terus menerus siap-siap di bom, kita akan “jengkel” karena semua yang sudah di tata itu akan menjadi kacau dan terganggu. Kita akan marah dan kembali akan “jengkel” karena tidak jelas marah kepada siapa. Itulah menakutkannya terorisme.
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/07/26/strategi-mengatasi-ancaman-terorisme/
Bagaimana dengan teroris di Indonesia? Noordin M Top, adalah seorang tokoh teroris yang paling dicari oleh aparat keamanan hingga kini. Sesuai dengan aturan yang berlaku pada kelompok teroris, si pemimpin harus memiliki dedikasi tinggi untuk organisasi, pengikut, serta kelompoknya. Ini dimiliki oleh Noordin. Bisa dibayangkan kehebatannya, bahkan mantan Dan Densus 88 Brigjen Pol (Purn) Suryadarma Salim menyebutnya Noordin bukan tokoh teror taman kanak-kanak. Sebagai WN Malaysia dia beroperasi di Indonesia. Sudah sekian lama selalu mampu menghindar belum juga dapat ditangkap, bahkan mampu melakukan serangan bom. Kelompok teroris ini, menghendaki masyarakat luas menyediakan dukungan sehari- hari, seperti pengumpulan data untuk kepentingan intelijen dan sumber dana. Tingkat dan susunan sebuah kelompok teroris terdiri dari pimpinan atau ketua, kader aktif, pendukung aktif, pendukung pasif, dan simpatisan di tengah masyarakat.
Dari beberapa hasil pemeriksaan dan pengadilan, menunjukkan, biasanya mereka bersembunyi dengan menyewa atau membeli rumah. Bersosialisasi dengan masyarakat umum dan berjualan, dalam rangka menyamarkan kegiatan. Di rumah itu mereka melakukan penimbunan senjata, bahan peledak, dan perakitan bom. Anggota jaringan taktis, adalah mereka yang melakukan peledakan bom, melakukan pembunuhan, penculikan, pembakaran. Semua anggota memiliki dedikasi tinggi kepada kelompoknya. Bahkan beberapa anggota lebih memilih melakukan aksi bunuh diri sekalipun, aksi yang dipahami seluruh anggota, tergantung perintah pimpinan. Jaringan taktis akan bergerak bila pimpinan sudah memutuskan tujuan jangka pendek. Itulah yang dilakukan para teroris. Amerika Serikat kini lebih terlihat melokalisir peperangannya dengan Al Qaeda di Afghanistan. Presiden Barrack Obama nampaknya telah berhasil melakukan pendekatan dengan negara-negara Islam, agar mata rantai dukungan terhadap teroris dapat diputuskan. Fareed Zakaria mengatakan bahwa AS dalam menghadapi Al-Qaeda sangat memahami, mereka menghadapi sebuah perang yang sangat panjang dengan banyak terjadi pertempuran besar dan kecil.
Dalam mengatasi ancaman terorisme, harus dimulai dengan dasar pemikiran dan strategi yang tepat. Karena teroris umumnya menggunakan dasar ilmu intelijen, maka “counter terrorism” di susun dengan pola operasi intelijen.
Pertama, penerapan strategi militer, di sektor militer dilakukan operasi bawah tanah, dengan tekanan yang bertujuan menghancurkan kelompok teroris. Setiap orang yang merencanakan dan membantu operasi teroris harus mengerti bahwa dia akan diburu dan dihukum. Operasi mereka akan diganggu, keuangan akan dikeringkan, tempat persembunyian akan terus diserbu. Jika ini berhasil, tidak ada lagi yang jadi masalah di sektor militer. Operasi akan lebih efektif apabila tim merupakan gabungan antara Densus 88/Antiteror dari kepolisian dan satuan-satuan antiteror TNI. Hambatan ketentuan UU dan SOP sebaiknya diatasi dengan pemikiran jangka panjang, karena ancaman teror jelas mengganggu pembangunan dan kredibilitas kondisi keamanan Indonesia dimata negara lain. Semua yang ditata oleh pemerintah akan bisa runtuh dalam sekejap mata dengan sebuah serangan teror. Inilah nilai terpenting yang harus kita sadari bersama.
Kedua, yaitu Strategi politik yang jelas lebih rumit lagi. Sistem politik harus ditata ulang dalam kaitannya dengan bahaya teror. Pelibatan elite politik agar satu suara dalam penanganan masalah teroris sangat dibutuhkan, tidak seperti masa lalu. Dalam hal Bom Bali-I, masih terjadi perbedaan pendapat di antara elite politik. Tokoh-tokoh parpol Islam sangat penting dilibatkan dalam penanganan kasus, agar tidak terjadi tekanan politis bagi pemberantasan teror, bukan ditujukan kepada umat Islam tetapi kepada kelompok radikal teror. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah konsensus nasional yang luas. Aliansi politik menjadi masalah penting bagi keamanan nasional kita. Persaingan sudah berlalu dan selesai, kini waktunya bersatu padu menyelamatkan negara.
Ketiga, strategi budaya. Pemerintah bersama tokoh-tokoh agama wajib membantu dan menyadarkan generasi muda Islam di tempat-tempat pendidikan agama. Dari beberapa kasus, mereka ini yang dibina dan dijadikan kader. Beberapa anggota kelompok bersedia dan sadar untuk mati lebih disebabkan karena mampu diyakinkan bahwa “surga” akan didapatnya, dan mereka sudah berada dijalan yang benar. Menjadi tugas kita bersama untuk kembali menyadarkan pemuda-pemuda yang demikian bersemangat, agar kembali memahami pengertian baik dan buruk, pengertian haram dan halal serta pengertian jihad dan mati syahid. Di sisi inilah pemuda itu banyak digelincirkan. Umumnya serangan teror hanya ramai dibicarakan saat kejadian, dan biasanya setelah beberapa lama akan dilupakan.
Perang dengan terorisme adalah perang yang sangat serius, kalau dahulu hanya alumnus Ngruki yang dibina, kini nampaknya pengkaderan sudah merambah keorganisasi lain. Yang lebih berbahaya, beberapa yang dikader adalah mereka yang tidak berafiliasi keorganisasi manapun. Strategi budaya harus terus dilakukan pemerintah, kita tidak rela rasanya apabila para pemuda Islam kita yang bersemangat dimanfaatkan dan dilibatkan dalam perang mereka. Aparat telah mengejar sang Noordin selama lebih dari tujuh tahun, tetapi dia masih bebas berkeliaran dan bahkan mampu melakukan pemboman. Teroris masih bisa hidup karena mereka bercampur dengan rakyat. Oleh karena itu mereka harus dipisahkan dengan rakyat itu. Walau bagaimanapun, dengan jenis senjata termodern sekalipun, dengan strategi yang andal atau taktik yang jitu, sulit untuk memenangkan peperangan menghadapi terorisme tanpa dukungan aktif dan partisipasi dari masyarakat. Teroris tidak akan pernah dapat dikalahkan hanya dengan menggunakan kekuatan fisik saja. Karena itu memainkan kartu lama digabung dengan kartu baru nampaknya akan lebih bisa diharapkan.
Solusi pelengkap dari ketiga strategi itu sederhana saja, aktifkan dan berdayakan Babinsa dan Babin Kamtibmas bersama-sama secara utuh, tidak sebagai pesaing. Babinsa adalah jaringan teritorial yang telah puluhan tahun berpengalaman bergaul dan berperan di masyarakat. Tanpa semuanya itu, maka kita harus terus menerus siap-siap di bom, kita akan “jengkel” karena semua yang sudah di tata itu akan menjadi kacau dan terganggu. Kita akan marah dan kembali akan “jengkel” karena tidak jelas marah kepada siapa. Itulah menakutkannya terorisme.
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/07/26/strategi-mengatasi-ancaman-terorisme/
Komentar
Posting Komentar